“Tunanetra Jatim”, Kompetensi yang Terkungkung


Masa kini setiap orang berlomba-lomba untuk menempatkan diri pada tempat yang dianggap dapat membawa dirinya ke fase kehidupan yang lebih baik dan menguntungkan. Baik itu dalam Pendidikan, pekerjaan, dan status social di dalam masyarakat. Hal ini berlaku pula bagi seseorang yang memiliki anugrah berupa kedisabilitasan atau memiliki perbedaan pada fisik atau pun mental.

Sejatinya menjadi disabilitas adalah ladang untuk kita menggali potensi dan memantapkan kompetensi. Namun yang sering terjadi seorang disabilitas malah terkungkung dengan tempurung ketidak mandirian sehingga potensi-potensi yang harusnya bisa dimiliki hanya menjadi keinginan diri tanpa pernah terwujud. Menurut saya, kasus ini terjadi juga pada disabilitas netra di Jawa Timur. Factor tempurung ketidak mandirian itu dapat bermacam-macam.

Dari factor internal : terbiasa di tolong dan diberikan sesuatu terkadang membuat kita lalai bahwa sebagai manusia kita juga punya kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk orang lain, sehingga kita akan menjadi pemalas dengan sejuta bayangan keberhasilan yang tak pernah terwujud. Selain itu, kemauan menjadi mandiri terkadang tidak ada pada diri kita meskipun diluar sana kita tahu banyak teman-teman yang sudah berhasil keluar dari tempurung yang sedang membuat kita terkungkung. Biasanya, ini terjadi karena beberapa alas an yang kita buat sendiri. Alas an yang paling sering muncul adalah ketakutan. Entah takut dimarahi orang tua, takut menjadi korban kejahatan, takut jatuh, dan lain sebagainya.

Ya, memang ketakutan-ketakutan itu mungkin akan kita alami. Tapi, coba kita nilai dari sudut pandang yang positif, sesuatu yang buruk yang kita alami akan membuat kita menjadi tangguh di lain waktu bukan?

Yang berikutnya adalah factor eksternal. Ini biasanya terjadi pada lingkungan keluarga. Tidak bisa dipungkiri mempunyai anak seorang tunanetra akan menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kedua orang tua kita. Entah kekhawatiran dalam karir anak mereka nantinya, dan lain sebagainya. Selain kekhawatiran, rasa sayang yang berlebihan juga sering di dapatkan oleh seorang anak yang tunanetra. Sebenarnya, rasa khawatir dan rasa sayang yang diberikan kepada anak itu tidak salah. Namun, menjadi tidak tepat jika kedua rasa itu diberikan secara berlebihan dan dengan cara yang salah. Misal, seorang anak tunanetra yang tidak boleh melakukan aktifitas sehari-hari sendiri. Biasanya, alasan orangtua tidak memperbolehkan adalah lagi-lagi karena ketakutan. Takut terkena api, takut anaknya nanti dibohongi, dan macam-macam alas an lain.

Lalu bagaimana? Sepertinya apa yang saya paparkan di atas sudah cukup menggambarkan betapa pentingnya sebuah kemandirian dalam menggali potensi yang kita miliki. Lalu, akan kah kita masih tetap mau menjadi orang-orang yang sudah saya gambarkan di atas?

Jawa Timur adalah sebuah provinsi dengan peluang Pendidikan dan pekerjaan yang cukup besar. Khususnya bagi disabilitas netra. namun seperti yang saya paparkan di atas, banyak dari kita yang masih terjebak pada tempurung ketidak mandirian yang akhirnya menghambat kita untuk memiliki sebuah kompetensi dalam bidang tertentu.

Di akhir tulisan ini saya ingin mengajak sahabat semua untuk mulai mencoba melakukan sesuatu yang mungkin itu beresiko. Tapi ingat, apa yang kita lakukan sekarang akan menjadi gambaran siapa kita di waktu yang akan datang! Lebih baik kita berjuang untuk menguasai sebuah kompetensi tertentu daripada kita hanya berimajinasi tanpa aksi!

0 comments:

Posting Komentar